PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang
lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum
adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang
harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada
hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan
termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai
macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi
manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri
berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang
memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan
ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih
baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling
sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam
dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas,
bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek
yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan
bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam
kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga
negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw
dalam perjalanan hidupnya.
B. Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in
(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum
Islam.
Syariat Islam secara
garis besar mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah
I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan.
Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa
di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah
Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan
yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang
sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah
‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah
kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau
lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat,
yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu
diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan,
kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum
Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17
-75:18 ).
Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali
ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas"
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara
lain:
a. Al-Qur’an adalah
firman Allah atau Kalamullah
b. Al-Qur’an adalah
mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c. Al-Qur’an disampakan
kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita
menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad
Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian
isinya)
d. Al-Qur’an di awali
dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e. Al-Qur’an
diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca
al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a. Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-Qur’an berfungsi
sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-Qur’an berfungsi
sebagai pembela (furqon)
Oleh karena al-Qur’an
adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa
prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan
berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b. Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan
tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c. Mudah dan tidak
memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d. Keselarasan dan
keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan)
duniawi”.
e. Berproses dan
bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak.
Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk
mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari
hukum itu.
Ditinjau dari sumber
hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum,
kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan
sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum,
al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi
bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata sunnah, secara
etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul
adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah
sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan
tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam
berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan
sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil,
sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak
terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang
sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak
adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat
hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau
atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah
atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang
tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak
sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih
tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat
masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini
berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam
al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad
diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad
lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara
maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam
sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang
berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut
istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau
keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu
dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang
belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah
yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada
dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan
kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan,
selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini
dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang
penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat
berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya
relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.
C. Fungsi Hukum Islam Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum
Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al
Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim
untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban
untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan
Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan
secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan
dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas
dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia
lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang
dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program
lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di
Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara
tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia.
Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia
(1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem
ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.
Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang
berlaku di Indonesia.
Kontribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang
sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di
Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang
harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah.
Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus
ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan
hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau
kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses
dan waktu untuk merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
No comments:
Post a Comment